Desak Negara Bertanggung Jawab Atas Tragedi MBG di Agam, Riyan Permana Putra LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan



SUMBARNET - Sore itu, suasana di Puskesmas Manggopoh dan RSUD Lubuk Basung berubah mencekam. Puluhan orang tua berlarian, panik mencari anak mereka yang mendadak sakit setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Tangisan terdengar di ruang tunggu rumah sakit, suasana duka menyelimuti.


Sedikitnya 36 siswa SD di Nagari Manggopoh dan Kampung Tangah, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, harus dirawat akibat gejala keracunan: sakit perut, mual, dan muntah. Menu hari itu adalah nasi goreng dengan telur. Namun, penyebab pastinya masih ditelusuri.


“SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang memasok makanan ini juga melayani sekitar 3.000 murid lain. Kita terus melakukan tracking korban,” ujar Sekda Kabupaten Agam, Muhammad Luthfi. Hingga malam, korban tersebar di tiga lokasi perawatan: Puskesmas Manggopoh, RSUD Lubuk Basung, dan RSIA Rizky Bunda.


Tragedi ini menambah panjang daftar keracunan MBG yang telah menelan lebih dari 6.500 korban di seluruh Indonesia sejak program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini diluncurkan pada Januari 2025.


“Ini Bukan Kasus Terisolasi, Melainkan Darurat Kesehatan Publik”


Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi yang memiliki wilayah kerja di seluruh Indonesia, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, menilai tragedi Agam adalah bukti nyata kelalaian negara dalam menjalankan tanggung jawab konstitusional,ujar Riyan kepada media (2/10).


“Program yang digadang-gadang memberi kesehatan justru menghadirkan trauma dan penyakit. Ini bukan lagi kasus terisolasi, tetapi darurat kesehatan publik,” tegas Riyan.


LBH Bukittinggi pun membuka Posko Pengaduan MBG bagi masyarakat terdampak. Korban atau keluarga bisa melapor melalui WhatsApp di 081285341919 atau website resmi pengacarabukittinggi.com. Posko ini akan menghimpun laporan, memberi pendampingan hukum, hingga menyiapkan langkah gugatan.


Perspektif Hukum: Negara Tidak Bisa Lari dari Tanggung Jawab


Dalam kacamata hukum, tragedi ini menyentuh banyak aturan:


UUD 1945: Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap orang atas kesehatan; Pasal 34 ayat (2) mewajibkan negara menyediakan pelayanan kesehatan.


KUHPerdata Pasal 1365: Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain mewajibkan pelakunya mengganti kerugian.


UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: Pemerintah wajib menjamin pangan yang aman dan sehat.


UU Perlindungan Anak (No. 35/2014): Anak berhak tumbuh dan berkembang dengan gizi layak.


UU Perlindungan Konsumen (No. 8/1999): Melarang peredaran produk berbahaya bagi konsumen.


UU Tipikor Pasal 3: Bisa menjerat jika ada penyalahgunaan wewenang atau korupsi dalam pengadaan MBG.



“Ketika negara lalai, itu bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” tegas Riyan.



Yurisprudensi dan Doktrin: Negara Bisa Digugat


Putusan PN Jakarta Pusat No. 374/Pdt.G/2019/PN Jkt.Pst soal pencemaran udara membuktikan pemerintah bisa dimintai tanggung jawab.


Putusan MA No. 31 PK/Pdt/2001 mempertegas doktrin perbuatan melawan hukum oleh penguasa.


Doktrin social welfare state yang ditegaskan Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan hak atas kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.



“Kalau udara kotor bisa dijadikan dasar gugatan, apalagi makanan beracun yang menimpa anak-anak. Itu jauh lebih konkret,” tambah Riyan.



Perjanjian Orang Tua–Sekolah: Batal Demi Hukum


Di beberapa sekolah ditemukan klausul yang menyatakan orang tua tidak boleh menggugat bila terjadi keracunan MBG. Bagi LBH Bukittinggi, ini jebakan hukum.


“Dalam Pasal 1337 dan 1340 KUHPerdata, perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang adalah batal demi hukum. Jadi, klausul itu tidak sah dan tidak mengikat,” jelas Riyan.



Keadilan di Balik Piring Nasi Goreng


Tragedi di Lubuk Basung bukan hanya tentang nasi goreng yang tercemar, melainkan tentang kegagalan negara menepati janji konstitusi. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban.


“Ini soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Hak atas pangan sehat bukan sekadar slogan politik, tapi kewajiban hukum. Ketika kewajiban itu dilanggar, rakyat berhak menuntut,” tutup Riyan.


Dengan dasar hukum, Yurisprudensi, dan Doktrin yang kuat, LBH Bukittinggi menegaskan: kasus MBG bukan sekadar program gagal, melainkan bukti kelalaian negara yang harus diadili. (Fendy Jambak)

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Selamat datang di Website www.sumbarnet.id, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred: Firma Ragnius