Riyan Permana Putra: Pembangunan Hotel P Bukittinggi Langgar IMB, UU Bangunan dan Ancam Keselamatan Publik



SUMBARNET, Bukittinggi — Terkait berita yang dilansir dari iNewsPadang.id terkait berita berjudul Hotel Nakal di Tengah Kota Bukittinggi: Melanggar Izin, Merusak, dan Ancam Keselamatan Warga, praktisi hukum dan Ketua Perhimpunan Advokat Nusantara (PAN) Raya Sumatera Barat, Riyan Permana Putra, menilai pembangunan Hotel P di Jalan Teuku Umar, Bukittinggi, merupakan pelanggaran serius terhadap izin mendirikan bangunan (IMB), peraturan daerah, dan ketentuan keselamatan bangunan, yang berpotensi membahayakan masyarakat sekitar.


Menurutnya, putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi Nomor 22/Pdt.G/2018/PN Bkt yang menyatakan bahwa pembangunan hotel tersebut melanggar IMB merupakan bukti sah adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). “Putusan ini sudah cukup kuat untuk dijadikan dasar tindakan administratif berupa pembekuan izin dan penyegelan bangunan,” ujar Riyan di Bukittinggi, Sabtu (25/10/2025).


Ia menjelaskan bahwa pembangunan hotel hingga empat lantai, padahal izin hanya untuk tiga lantai, merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) yang mewajibkan setiap bangunan memenuhi persyaratan administratif dan teknis, serta Pasal 39 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menghentikan pembangunan apabila terjadi pelanggaran izin.


Lebih lanjut, Riyan menegaskan bahwa Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung juga secara jelas dilanggar. Pasal 106 ayat (6) menyebutkan bahwa bangunan yang menempel di sisi samping harus disertai surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah tetangga. “Fakta persidangan menunjukkan dokumen itu tidak pernah ada. Jadi pembangunan ini sejak awal cacat hukum dan administrasi,” tegasnya.


Selain pelanggaran administratif, perbuatan tersebut juga berpotensi melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena kegiatan pembangunan yang merusak bangunan di sekitarnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dalam konteks keselamatan konstruksi, Riyan juga menyinggung Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Bangunan Gedung, terutama Pasal 9 ayat (3) yang mewajibkan bangunan di wilayah rawan gempa untuk memenuhi standar teknis ketahanan struktur.


“Bukittinggi termasuk daerah rawan gempa. Maka setiap penyimpangan dari ketentuan teknis bangunan bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap keselamatan publik. Kalau pondasi dan struktur bangunan tidak sesuai, risikonya bisa fatal,” kata Riyan.


Riyan menambahkan, tindakan pemilik hotel yang tetap melanjutkan pembangunan setelah ada putusan pengadilan merupakan bentuk pengabaian terhadap hukum dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang tidak menaati perintah atau putusan pejabat yang berwenang.


Ia juga mengutip sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap izin bangunan, di antaranya:


Putusan MA Nomor 3225 K/Pdt/2010, yang menyatakan bahwa pembangunan yang melanggar IMB dan merusak bangunan tetangga merupakan perbuatan melawan hukum.


Putusan MA Nomor 1794 K/Pdt/2013, yang menegaskan bahwa pembangunan yang menyalahgunakan hak atas tanah hingga merugikan pihak lain adalah bentuk misbruik van recht (penyalahgunaan hak).


Putusan MA Nomor 3658 K/Pdt/2015, yang mempertegas tanggung jawab pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pelanggaran IMB dan keselamatan bangunan.



Riyan menilai, jika pemerintah kota tidak segera menindaklanjuti putusan pengadilan, maka dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) sebagaimana doktrin hukum administrasi yang berkembang dalam praktik peradilan Indonesia.


“Pemerintah daerah punya kewajiban hukum untuk melindungi keselamatan warganya. Bila tetap membiarkan pembangunan yang jelas melanggar izin dan membahayakan lingkungan sekitar, maka pemerintah juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum,” ujarnya.


Ia mendesak Wali Kota Bukittinggi agar segera menyegel lokasi pembangunan, membekukan IMB Hotel P, dan melakukan audit teknis independen terhadap seluruh struktur bangunan. Langkah ini, menurutnya, penting untuk mencegah potensi bencana bangunan runtuh seperti kasus di Sidoarjo pada September 2025 lalu.


“Penegakan hukum dalam kasus ini adalah ujian bagi komitmen pemerintah terhadap prinsip rule of law dan tata kota yang aman. Jangan tunggu korban jiwa baru bertindak,” tegas Riyan Permana Putra. (Fendy Jambak)

0 Post a Comment:

Posting Komentar