SUMBARNET - Kebakaran mobil di SPBU Garegeh, Bukittinggi, Senin sore (15/12/2025), bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, aparat penegak hukum di Sumatera Barat berulang kali menangani kasus kebakaran kendaraan dan penindakan hukum yang berkaitan dengan dugaan praktik melangsir bahan bakar minyak (BBM), terutama BBM bersubsidi.
Sejumlah peristiwa sebelumnya menunjukkan pola yang relatif serupa: kendaraan pribadi atau niaga ringan mengalami kebakaran saat atau setelah pengisian BBM dalam jumlah tidak wajar, sebagian di antaranya terjadi di area SPBU, sementara lainnya terjadi di luar lokasi pengisian namun masih berkaitan dengan aktivitas pengangkutan BBM.
Pada 2023, misalnya, aparat kepolisian di wilayah pesisir Sumatera Barat mengamankan kendaraan yang dimodifikasi untuk mengangkut BBM bersubsidi dalam jeriken. Kasus tersebut berujung pada proses hukum karena dinilai merugikan negara dan mengganggu distribusi BBM kepada masyarakat. Dalam kasus lain di wilayah Agam dan Tanah Datar, kepolisian pernah menindak pelangsir BBM yang memanfaatkan SPBU di jalur lintas antar-kabupaten.
Meski tidak seluruh kasus berakhir dengan kebakaran, aparat mencatat bahwa praktik melangsir BBM memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan. Pengangkutan BBM tanpa standar keselamatan, penggunaan wadah tidak sesuai ketentuan, serta pengisian berulang di SPBU menjadi faktor yang kerap ditemukan dalam penyelidikan.
Praktisi hukum asal Bukittinggi, Riyan Permana Putra, menilai rangkaian kasus tersebut menunjukkan bahwa persoalan melangsir BBM di Sumatera Barat bersifat sistemik dan tidak bisa ditangani secara parsial.
“Jika kita lihat pola kasus di Sumatera Barat, penindakan sering kali baru dilakukan setelah ada kejadian besar—entah penangkapan, kebakaran, atau laporan masyarakat. Padahal, dari sisi hukum, praktik melangsir BBM itu sendiri sudah merupakan perbuatan pidana,” kata Riyan, Selasa (16/12/2025).
Menurut Riyan, kebakaran di SPBU Garegeh harus dibaca dalam konteks yang lebih luas, yakni lemahnya pengawasan distribusi BBM bersubsidi dan masih terbukanya celah pelanggaran di lapangan. Ia mengingatkan bahwa SPBU merupakan objek vital yang memiliki standar keselamatan ketat, sehingga setiap pelanggaran SOP berpotensi menimbulkan risiko berantai.
“Ketika kebakaran terjadi di SPBU, itu bukan hanya soal satu kendaraan atau satu orang. Ada potensi bahaya bagi konsumen lain, pekerja SPBU, dan lingkungan sekitar. Karena itu, aparat perlu melihat apakah ada pembiaran atau kelalaian sistemik,” ujarnya.
Dalam sejumlah putusan sebelumnya, Mahkamah Agung konsisten menyatakan bahwa BBM bersubsidi adalah barang strategis milik negara. Penyalahgunaannya—baik dalam bentuk penimbunan, pengangkutan ilegal, maupun melangsir—dipandang merugikan kepentingan publik, meskipun dilakukan oleh individu dan dalam skala terbatas.
Riyan menilai, pembelajaran dari kasus-kasus sebelumnya di Sumatera Barat seharusnya menjadi dasar bagi aparat untuk bertindak lebih proaktif. Tidak hanya menindak pelaku di lapangan, tetapi juga mengevaluasi pengawasan SPBU, pola pengisian mencurigakan, serta mekanisme pengendalian distribusi BBM bersubsidi.
“Kebakaran di SPBU Garegeh ini semestinya menjadi momentum koreksi. Jika tidak ditelusuri sampai tuntas, peristiwa serupa berpotensi terulang di lokasi lain,” kata Riyan.
Hingga Selasa (16/12/2025), aparat terkait masih melakukan pendalaman atas insiden di SPBU Garegeh. Publik menunggu kejelasan, apakah kasus ini akan berhenti sebagai peristiwa kebakaran semata, atau ditindaklanjuti sebagai bagian dari upaya serius menertibkan praktik melangsir BBM di Sumatera Barat. (Fendy Jambak)

0 Post a Comment:
Posting Komentar