Padang - Bencana ekologis yang melanda Sumatera khusus Sumatera Barat satu pekan yang lalui masih menyisakan luka, bencana ekologis yang disebabkan ulah tangan manusia seperti melakukan pembabatan kayu dalam Kawasan hutan dan mengalih fungsinya yang selama ini menjadi benteng terakhir penahan lonsor dan bajir bandang.
Ini merupakan kegagalan pemerintah pusat sampai daerah yang telah abai dan lalai mengelola dan menegakan aturan/hukum. Gelondongan kayu yang berakhir di muara dan pantai Kota Padang menandakan ada pembalakan kayu pada kawasan hulu DAS kita di Sumbar.
Potensi bencana serupa terus mengintai Sumatera barat terutama kota padang seperti yang nampak pada Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Timbulun di Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang, kawasan yang selama ini menjadi benteng ekologis antara Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan, kini menghadapi ancaman yang sangat serius.
Berdasarkan hasil overlay peta kawasan hutan Provinsi Sumatera Barat sesuai SK 35/Menhut-II/2013 dengan citra tutupan lahan terbaru, ditemukan pembukaan hutan seluas ±129 hektar untuk perkebunan kelapa sawit.
Di atas kertas, kawasan ini berstatus Hutan Lindung, sebuah zona yang secara hukum tidak boleh dialih fungsikan. Tetapi di lapangan, pepohonan yang mestinya menjaga keseimbangan air dan tanah kini berganti dengan bukaan-bukaan lahan luas, dipenuhi jejak land clearing yang memperlihatkan aktivitas terencana dan sistematis.
Hilangnya ratusan hektar hutan di hulu DAS ini bukan sekadar kehilangan tutupan vegetasi—ini adalah hilangnya pelindung alami bagi keselamatan masyarakat di wilayah Bungus Teluk Kabung.
Tommy Adam, Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumatera Barat, menyebut temuan ini sebagai alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat.
Tommy Adam menegaskan bahwa kerusakan tersebut tidak bisa dianggap sekadar persoalan teknis. “Overlay antara peta SK 35 dengan kondisi saat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa lebih dari 129 hektar penyangah kawasan hutan lindung dan hutan lindung telah dibuka. Ini pelanggaran nyata dan pengabian terhadap ekosistem hutan," katanya.
Ia menambahkan bahwa hulu DAS adalah fondasi keselamatan wilayah. Begitu kawasan lindung dihancurkan, respon alam menjadi tidak terduga. Air hujan yang biasanya tertahan dan meresap kini mengalir tanpa kendali ke hilir, memperbesar ancaman banjir bandang, longsor, dan pendangkalan sungai. Masyarakat di Padang tepatnya Bungus Teluk Kabung dan Pesisir Selatan adalah pihak pertama yang akan menanggung risiko tersebut.
“Kerusakan 129 hektar ini bukan angka kecil. Ketika kawasan lindung dibabat, masyarakat hilir akan menanggung bencananya. Erosi meningkat, sungai semakin keruh, jaringan irigasi tersumbat, dan pada musim hujan risiko banjir sangat besar. Kerugian ekologis dan sosialnya jauh lebih mahal dari keuntungan kebun sawit ilegal,” tegas Tommy.
Dampak ekologis lainnya juga tak terhindarkan. Hutan lindung di Hulu DAS Timbulun adalah habitat bagi berbagai spesies satwa dan tumbuhan yang menjaga keseimbangan ekosistem. Ketika area itu dirusak, satwa kehilangan ruang hidup dan konflik dengan manusia semakin sering terjadi. Keanekaragaman hayati yang menjadi kekayaan Sumatera Barat pun perlahan menghilang.
Selain itu, petani dan masyarakat di sekitar DAS akan merasakan dampak ekonomi yang berat. Pola air yang berubah menyebabkan lahan pertanian terancam gagal panen, infrastruktur desa seperti jalan dan jembatan semakin mudah rusak, dan pasokan air bersih terganggu. Semua itu terjadi karena fungsi ekologis kawasan lindung telah dicederai oleh aktivitas yang melanggar hukum.
Tommy Adam menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan kerusakan ini terus berkembang. “Aparat penegak hukum harus bergerak. Pembukaan kawasan lindung adalah tindak pidana yang jelas dasar hukumnya. WALHI mendesak penghentian aktivitas, penyelidikan tuntas, dan pemulihan kawasan secara menyeluruh. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan sempit pihak-pihak yang membuka kawasan ini,” katanya.
Kerusakan ±129 hektar hutan lindung di Hulu DAS Timbulun adalah peringatan bahwa pengelolaan lingkungan di Sumatera Barat sedang berada di titik kritis. Jika tidak ada tindakan tegas, bencana ekologis bukan hanya ancaman, tetapi kepastian yang akan datang menghampiri masyarakat Bungus Teluk kabung seperti yang handapi masyarakat sepanjang aliran Sungai batang kuranji, batang air dingin dan beberapa daerah aliran sungai lainnya pada peristiwa galodo tanggal 25- 30 November 2025. (**)

0 Post a Comment:
Posting Komentar