SUMBARNET - Tragedi maut kecelakaan kapal laut terjadi di Selat Bali. Salah satu korban jiwa, adalah pasangan Febriani, salah seorang penumpang KMP Tunu Pratama Jaya.
Siapa sangka, ia harus kehilangan istri tercinta selama-lamanya.
Mereka adalah pengantin baru, yang belum genap dua pekan membina rumah tangga.
Tangis dan penyesalan pun pecah serta menyelimuti Febriani, yang tak menyangka perjalanan singkat menyeberang selat Bali, berujung perpisahan abadi.
"Kejadiannya begitu cepat. Tidak ada yang mengira kapal KMP Tunu Pratama Jaya akan tenggelam," ucapnya ditemui di Posko ASDP Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Kamis (3/7/2025).
Febriani (27) dan Cahyani (30) sama-sama merantau ke Denpasar, Bali untuk bekerja.
Keduanya memutuskan pulang kampung di Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi untuk menikah pada tanggal 20 Juni 2025 lalu.
12 hari menikah, Febriani memutuskan kembali merantau ke Denpasar untuk bekerja.
Jejak sang suami pun diikuti oleh istrinya, hingga keduanya memesan travel untuk mengantar perjalanan.
"Kami berangkat pukul 22.00 WITA, sampai Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 22.30 WITA, dan langsung naik kapal," ujarnya.
Sebagai orang yang kerap melakoni perjalanan Bali-Jawa, Febriani merasa olengnya kapal yang ia rasakan saat itu adalah hal biasa.
Menurutnya itu karena pengaruh gelombang air laut.
Namun lama kelamaan, hal yang dianggap biasa menjadi perasaan cemas. Bagian depan kapal terlihat miring ke kiri.
Apalagi ditambah beban yang berat di sisi depan, kapal pun mulai oleng kurang dari tiga menit.
Semua orang sontak berhamburan berupaya menyelamatkan diri.
Mirisnya saat itu tidak ada informasi dari pihak kapal maupun alarm bahaya.
"Kami semua menyelamatkan diri sendiri, ambil pelampung sendiri," ungkapnya.
Kondisi kapal saat itu semakin miring.
Lampu dan mesin kapal juga telah mati.
Cahyani yang tak bisa berenang diminta memeluk tubuh Febriani, kemudian keduanya memutuskan melompat ke laut.
Namun sayangnya disaat bersamaan kapal yang terjatuh mengakibatkan gelombang kuat.
"Pada saat itulah pelukan istri saya terlepas," katanya.
Febriani yang baru sadar saat muncul ke permukaan, berusaha mencari sang istri. Pandangannya menyapu sekitar, sembari berteriak memanggil nama sang istri.
Sayangnya setelah sekian lama, panggilannya tak kunjung mendapat jawaban dari sang istri.
Marah, kesal, kecewa, hingga putus asa berkecamuk di perasaan Febriani.
Terlebih saat itu kondisi sekitar gelap.
Ia akhirnya memutuskan untuk menaiki kapal karet, bergabung dengan 11 penumpang lainnya yang selamat.
"Saya akhirnya dibantu orang-orang naik ke kapal karet. Saat itu masih coba memanggil istri saya. Tapi tetap tidak ada jawaban. Disitulah saya putus asa, tapi masih berusaha berpikir positif, mungkin istri saya di perahu karet lain," ujarnya.
12 orang terombang-ambing di kapal karet semalaman. Hingga pukul 07.00 WITA, terlihat kapal nelayan. Seluruh orang berusaha teriak memanggil kapal itu.
Namun karena ukurannya yang kecil, terpaksa hanya setengah yang bisa diangkut. Sedangkan sisanya dijemput setelah nelayan itu memberi informasi pada rekannya.
Setibanya di darat, Febriani segera dibawa ke Posko ASDP Gilimanuk pukul 9.30 WITA. Di tempat inilah ia menerima kabar bahwa Cahyani telah ditemukan namun meninggal dunia.
Pantauan di Posko ASDP Gilimanuk, ambulans pembawa jenazah para korban tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya tiba sekitar pukul 19.00 WITA. Total ada lima ambulans yang membawa para jenazah.
Febriani juga diberi kesempatan untuk melihat wajah istrinya. Ketika kantong jenazah dibuka, tangis Febriani langsung pecah, dan segera ditenangkan oleh kerabatnya.
Sumber : Tribun Bali
0 Post a Comment:
Posting Komentar